Jepara - Uji Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptakerja) yang diajukan oleh Tim Advokasi buruh Gugat Omnibus Law teregister dengan Nomor Perkara 107/PUU-XVIII/2020, ditolak oleh MK. Amar putusan dibacakan Ketua MK merangkap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman pada Kamis, (25/11). Jumat, 26/11/2021.
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun undang-undang itu harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
"Mengadili dalam provisi, satu, menyatakan permohonan provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI," kata Ketua Anwar Usman.
Demikian keterangan tertulis Kuasa Hukum Tim Advokasi Gugat Omnibus Law Janses E Sihaloho, S.H. dan M. Wastu Pinandito, S.H.
“Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya telah mengabulkan Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja yang pada pokoknya menyatakan pertama, pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan,” ungkapnya.
Kemudian, MK juga menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan.
Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Inkonstitusional secara permanen.
Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka Undang-Undang atau Pasal-Pasal atau Materi-Materi yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali.
Mahkamah Konstitusi menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Janses E Sihaloho selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa sudah cukup tepat Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Menurutnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam proses pembentukkannya memang telah telah banyak melanggar syarat-syarat pembentukan suatu Undang-Undang (syarat formil) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), Undang-Undang 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
“Putusan Mahkamah konstitusi ini sudah seharusnya menjadi pelajaran penting dan berharga agar pembuat Undang-Undang ke depan agar lebih profesional taat asas dan lebih menghargai partisipasi publik,” ungkapnya.
Selanjutnya M Wastu Pinandito selaku salah satu Kuasa Hukum juga menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang masih memberikan kesempatan bagi Pembentuk Undang-Undang dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, apabila tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja akan dinyatakan Inkonstitusional secara permanen atau dengan kata lain dibatalkan permanen.
“Seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak perlu lagi memberikan kesempatan tersebut karena dikhawatirkan perbaikan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja tidak dilakukan secara profesional dan taat hukum, mengingat waktu yang diberikan oleh MK hanya 2 (dua) tahun, terlebih Undang-Undang Cipta Kerja didalamnya memuat 78 Undang-Undang. #liputansbm
Pewarta : Puji S