Pemkab Jepara Kemana, Properti Apartemen Di Karimunjawa Belum Berizin, Dijual WNA - Liputan Sbm

08/04/2024

08/04/2024

19 January 2022

Pemkab Jepara Kemana, Properti Apartemen Di Karimunjawa Belum Berizin, Dijual WNA



Jepara - Proyek ‘Startup Island Karimunjawa’ dari PT. Levels Hotel Indonesia yang diduga melanggar ketentuan dan tahapan proses perizinan. Lokasi proyek di dukuh Telaga Desa Kemujan Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Rabu (19/1/2022)


UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai pengganti atas UU Nomor 27 Tahun 2007. UU inilah yang mengatur tentang Garis Sempadan Pantai (GSP).


Pengertian GSP menurut UU ini adalah “daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat”.


Garis batas ini adalah bagian dari usaha pengamanan pantai yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya gelombang pasang tinggi (rob), abrasi, menjamin adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum di sekitar pantai, menjaga pantai dari pencemaran, serta pendangkalan muara sungai. 


Garis Sempadan Pantai (GSP) juga berfungsi sebagai : pengatur iklim, sumber plasma nutfah, dan benteng wilayah daratan dari pengaruh negatif dinamika laut.


Sementara dari sisi legalitas urgensi sempadan pantai sudah tersedia dalam berbagai perangkat peraturan, yaitu : 


  1. UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang;

  2. UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia;

  3. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

  4. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air;

  5. UU No.16/2004 tentang Penatagunaan Tanah;

  6. UU No.28/2004 tentang Bangunan Gedung;

  7. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

  8. UU No.38/2004 tentang Jalan;

  9. PP No.51/2016 Tentang Batas Sempadan Pantai;

  10. PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

  11. Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan berbagai  Keputusan Menteri Sektoral/Teknis lainnya.;

  12. Perda Jepara No.2/2011 Tentang RT.RW Kab. Jepara Tahun 2011-2031.


Salah satu contoh kasus persoalan pembangunan Startup Island Karimunjawa yang saat ini viral di medsos, perihal bangunan yang ada diduga mengabaikan PP No.51/2016 Tentang Batas Sempadan Pantai.


Dimana dengan melihat bangunan pondasi yang sudah dibangun di kawasan itu sejatinya tidak dapat didirikan bangunan hotel yang permanen, karena kawasan itu berada dalam area sempadan pantai. Pondasi bangunan yang rencananya untuk bangun Hotel bintang 5, dalam kenyataannya hanya berjarak di bawah 100 meter dari pasang tertinggi. Dan itu berarti, masih termasuk di dalam area sempadan pantai.


Sementara menurut ketentuan surat keterangan tata ruang harusnya “Tidak menutup akses masyarakat menuju dan dari pantai”, namun kenyataan realita dari bangunan pondasi ada kemungkinan akses publik ke pantai akan tertutup dan ada indikasi pagar bangunan yang saat ini sudah berdiri dibangun melebihi batas wilayah lahan milik PT. Hotel Levels Indonesia.


Dari uraian di atas, dan dikaitkan dengan masalah yang terjadi di wilayah pantai Karimunjawa, terdapat banyak hal yang perlu menjadi perhatian bersama, UU No. 1/2014 Pasal 17 disebutkan bahwa “Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberian Izin Lokasi wajib pertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil serta kepentingan masyarakat, nelayan tradisional. Izin Lokasi diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. "Selain itu, dalam Pasal 26A disebutkan antara lain “Izin harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 


  1. Menjamin akses public, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal;

  2. Memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan”


Pada pasal 26A juga disebutkan “Yang dimaksud dengan “akses publik” adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain : 


  1. Akses masyarakat memanfaatkan sempadan pantai

  2. Akses masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam dan akses masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai”.


Dalam UU ini juga disebutkan secara jelas bahwa aspek ekologi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelestarian lingkungan/ekosistem.


Sedangkan aspek sosial adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan (sistem sosial budaya) dari masyarakat lokal.


Perlu dipertanyakan Pemerintah Pusat, Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Jepara dalam mengeluarkan izin lokasi, izin lingkungan, telah mempertimbangkan amanat UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diuraikan diatas. 


Pemkab Jepara hingga saat ini belum pernah membuat peraturan khusus yang lebih operasional (Perda/Perbub) tentang garis sempadan pantai, sebagai tindak lanjut dari ketentuan UU tentang sempadan pantai yang sudah ada. 


Sebab UU memberi ruang kewenangan untuk itu. Kalaupun Pemkab Jepara belum membuat peraturan organik-operasional tentang garis sempadan pantai, maka yang harus menjadi rujukan utama oleh semua pihak, terutama oleh Pemerintah Daerah adalah aturan tentang batas garis sempadan pantai yang telah tercantum dalam UU yang sudah ada. 


Batasan sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, haruslah menjadi rujukan pokok dalam menyikapi kasus pembangunan-pembangunan hotel di wilayah tepi pantai Jepara dan Karimunjawa pada khususnya.


Dilihat dari keadaan atau kondisi riil kawasan pantai di wilayah Karimunjawa, jelaslah bahwa kawasan itu sesungguhnya berada dalam area sempadan pantai. Jika bangunan permanen berada dalam area sempadan pantai, maka otomatis kawasan itu tidak dapat (tidak boleh) diizinkan bagi siapapun untuk mendirikan bangunan permanen di atasnya. 


Pemberian izin oleh Pemerintah Pusat, Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Jepara kepada pihak investor, dengan demikian sebuah kesalahan atau pelanggaran serius terhadap amanat ketentuan UU Nomor 1/2014.


Memang dapat dimengerti ketika Pemkab Jepara harus membuat garis sempadan pantai sesuai ketentuan UU, yang tentu saja akan cenderung mengalami kendala teknis. Kendala itu misalnya dalam hal ; bagaimana mungkin Pemkab Jepara menggeser bangunan beton bertingkat yang telah ada sebelumnya, seperti hotel-hotel yang sudah dibangun di sepanjang pantai di wilayah Kab. Jepara, termasuk rumah-rumah penduduk warga lokal. 


Sebab jika konsisten dengan batasan garis sempadan pantai, maka konsekuensinya adalah sebagian perkampungan serta semua bangunan hotel-hotel yang berada di dalam area sempadan pantai, terpaksa harus dibongkar. Kemungkinan, inilah salah satu alasan mengapa Pemkab Jepara tidak berani membuat aturan pelaksana tentang batas garis sempadan pantai. Termasuk tidak berani menerapkan perintah UU tentang sempadan pantai.


Namun demikian, Pemkab Jepara juga tidak boleh membiarkan atau selalu bersikap permisif bagi investor yang hendak membangun hotel atau gedung-gedung berbeton baik di kawasan pantai di wilayah Kab. Jepara dan Karimunjawa, yang jelas-jelas masuk dalam area sempadan pantai.


Artinya, penerapan aturan sempadan pantai harus diberlakukan secara ketat bagi kawasan atau area yang belum terbangun, dan atau kawasan yang akan direncanakan akan dibangun. Itu pula berarti, bahwa Pemkab Jepara selayaknya tidak boleh memberikan Izin Lokasi atau IMB kepada pihak investor terutama di kedua kawasan itu.

Dengan perkataan lain, kalau Pemkab Jepara sulit membongkar bangunan yang sudah (terlanjur) ada, maka untuk Izin Lokasi dan IMB baru yang diajukan oleh pihak manapun, harus ditolak.


Apapun rumus yang akan digunakan untuk menentukan batas sempadan pantai, seyogyanya dipertimbangakan ruang di sepanjang garis pantai yang merupakan wilayah sempadan pantai. Wilayah sempadan pantai harus diarahkan menjadi ruang publik yang dapat diakses dan dinikmati oleh publik. 


Selain itu, pemanfaatan ruang wilayah pantai diarahkan untuk mengakumulasi beberapa fungsi kawasan yang menghargai, menyatu dan memanfaatkan potensi pantai dengan tetap berprinsip terhadap fungsi kelestarian alam.


Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Jepara dalam kasus pemberian Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan di lokasi sempadan pantai kepada investor, merupakan bentuk pengabaian atau pembangkangan terhadap amanat UU. 


Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Jepara mungkin juga termasuk kita semua telah dengan sengaja 'mengencingi’ UU Nomor 1/2014. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Jepara dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan pantai di wilayah Karimun Jawa pada khususnya oleh pihak swasta adalah bagaimana mengutamakan kebutuhan dari para pemangku kepentingan utama. 


Pemangku kepentingan utama,  tak lain adalah masyarakat yang mempunyai kepentingan langsung dengan pantai itu. 


Pengertian masyarakat menurut UU meliputi masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang selama ini telah menjadikan pantai sebagai tempat rekreasi umum.


Karena itu kebijakan ini perlu sedari awal dikoreksi secara bersama-sama oleh semua pihak, baik jajaran Pemkab maupun kita sebagai masyarakat Jepara. Sebab jika kita diam dan enggan mengoreksinya di awal, maka kita sesungguhnya tengah memberi beban kepada generasi yang hadir kemudian. Atau, kecuali jika kita sama-sama sepakat untuk langgar UU Nomor 1/2014. #liputansbm


Sumber : dari berbagai sumber

Pewarta : Puji S

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda