![]() |
Foto: Hartany Soekarno |
Dalam surat tersebut, pihak kuasa hukum menyatakan bahwa isi pemberitaan dianggap tidak benar serta mengandung informasi yang menyesatkan. Pada poin keenam, disebutkan bahwa pemberitaan dinilai telah membentuk framing negatif yang menempatkan klien mereka sebagai “mafia tanah”, tuduhan yang disebut sangat serius dan tidak memiliki dasar kuat.
“Kami meminta kepada pimpinan redaksi beberapa media online agar men-take down konten berita yang mengandung misinformasi dan fitnah tersebut. Apalagi isi berita itu sangat menyudutkan klien kami, menyerang harkat, martabat, dan kehormatan,” tulis kuasa hukum dalam surat tersebut.
Tak hanya itu, pihak kuasa hukum juga menegaskan rencana untuk menempuh jalur hukum jika permintaan tersebut tidak diindahkan. Laporan pengaduan terkait dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong disebut siap diajukan ke Kepolisian Republik Indonesia.
Menanggapi polemik ini, sejumlah pihak mengingatkan pentingnya etika jurnalistik dalam pemberitaan. Hartany Soekarno, wartawan senior sekaligus pembina IJTI Kalimantan Tengah, menekankan bahwa prinsip dasar jurnalisme adalah konfirmasi.
“Sebelum berita dipublikasikan, jurnalis harus berupaya menghubungi pihak terkait, baik melalui tatap muka, pesan WhatsApp, atau surat tertulis. Itu sudah menjadi keharusan sesuai ‘kiblat’ para jurnalis, yaitu Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” ujar Hartany ketika ditemui awak media di sebuah kafe di Jalan Yos Sudarso, Kamis malam (21/8/2025).
Ia menambahkan, jika ada pihak yang merasa dirugikan, langkah ideal adalah mengundang media bersangkutan untuk membuka ruang klarifikasi secara terbuka. Prinsip cover both sides, katanya, merupakan pegangan utama insan pers.
Sementara itu, Walikota Palangka Raya Fairid Naparin yang dikutip dari salah satu media lokal, menegaskan bahwa dugaan penguasaan lahan harus dibuktikan melalui jalur legal yang sah. Pemerintah, katanya, tidak ingin terjebak pada opini ataupun asumsi.
“Fokus utama saat ini adalah menuntaskan persoalan batas wilayah secara administratif dan legal, baru setelah itu menindaklanjuti persoalan lain seperti penguasaan lahan atau dugaan pelanggaran hukum,” tegas Fairid.
Kasus ini pun memunculkan diskusi lebih luas mengenai keseimbangan antara hak publik memperoleh informasi dengan hak individu atas perlindungan nama baik. Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur dalam Undang-Undang Pers menjadi instrumen penyelesaian, meski jalur hukum kerap ditempuh jika sengketa tak menemukan titik temu.
Kini, publik menantikan langkah lanjutan: apakah media terkait akan menuruti permintaan kuasa hukum dengan menghapus konten dan memberikan ruang klarifikasi, atau polemik ini berlanjut ke ranah hukum pidana.
Pewarta: Andy Ariyanto