![]() |
Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Agustan Saining, saat menyampaikan sambutan pada kegiatan pelatihan Sekolah Jangka Benah. |
LIPUTANSBM, PALANGKA RAYA — WWF Indonesia melalui kantor perwakilannya di Kalimantan Tengah menggelar pelatihan Sekolah Jangka Benah. Kegiatan yang berlangsung di sebuah hotel di Palangka Raya, Selasa, 17 Juni 2025, ini menjadi bagian dari strategi mendorong penguatan perhutanan sosial sekaligus penyelamatan kawasan hutan yang telanjur berubah fungsi.
Pelatihan ini menyasar para pengelola kawasan hutan (PKH) serta organisasi pendamping, sebagai upaya memperkuat sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam menjaga hutan sambil tetap memperhatikan aspek kesejahteraan warga sekitar.
Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Agustan Saining, tak menampik bahwa program perhutanan sosial masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama soal kepastian hukum.
Ia menyebut pembentukan Satgas Garuda memang sudah memberikan arah, tetapi belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan di lapangan.
“Dengan adanya Satgas Garuda, kepastian hukum program ini belum seratus persen. Namun kita tetap berupaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola perhutanan sosial,” ujar Agustan dalam sambutannya.
Agustan mencatat, saat ini luas kawasan perhutanan sosial di Kalteng mencapai sekitar 400 ribu hektare. Namun, capaian dari program ini belum mencerminkan potensi yang sebenarnya dimiliki daerah ini.
“Kita punya potensi besar, tapi realisasinya masih belum sesuai harapan,” ucapnya.
Pelatihan ini menjadi ruang bertukar gagasan dan strategi, khususnya dalam mendorong penerapan pendekatan Strategi Jangka Benah (SJB).
Pendekatan ini dirancang untuk menjawab persoalan “keterlanjuran” perkebunan sawit monokultur di dalam kawasan hutan.
Perwakilan Manajer WWF Indonesia, Simon, menegaskan bahwa Sekolah Jangka Benah bertujuan mendorong transformasi sistem budidaya sawit menjadi agroforestri kombinasi sawit dengan tanaman lain guna memulihkan fungsi ekologis hutan tanpa mengorbankan produktivitas.
“Program ini bertujuan untuk mengubah perkebunan sawit monokultur menjadi agroforestri, yaitu perkebunan campuran dengan tanaman lain selain sawit, sehingga dapat memulihkan fungsi ekologis hutan,” katanya.
WWF menilai pendekatan ini penting agar konservasi tidak hanya menjadi wacana elit, tapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan masyarakat di sekitar hutan dengan peran serta aktif pemerintah dan organisasi pendamping. (red)