Dosen Hukum UNISKA Tegaskan, Politik Uang Berdampak 6 Tahun Penjara dan Denda 1 Milyar Rupiah - Liputan Sbm

08/04/2024

08/04/2024

24 November 2020

Dosen Hukum UNISKA Tegaskan, Politik Uang Berdampak 6 Tahun Penjara dan Denda 1 Milyar Rupiah

Dosen Hukum UNISKA Tegaskan, Politik Uang Berdampak 6 Tahun Penjara dan Denda 1 Milyar Rupiah

Oleh : Aspihani Ideris



KALSEL - Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk penyempurnaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang berikutnya, pada 9 Desember 2020 memberikan ketegasan bagi yang bermain politik uang dengan sanksi pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah.


Pengertian politik uang dirumuskan dalam UU No. 10 Tahun 2016, ini adalah perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Selain itu juga sanksinya berupa administrasi sebuah sanksi pembatalan pasangan calon bagi yang terbukti melakukan praktik politik uang tersebut.


“Dan perlu di ingat !!!, sanksi administrasi ini tidak menggugurkan sanksi pidana penjara bagi mereka yang melakukan transaksi politik uang. Dan ini berlaku bagi siapa saja yang terlibat dalam politik uang seperti tim kampanye, tim sukses, anggota partai politik, relawan, pemilih sendiri atau pihak lainnya dikenakan sanksi pidana berupa 6 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah”. kata Dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini.


Selain sanksi administrasi berupa pembatalan pasangan calon yang terbukti melakukan praktik politik uang, dikenakan sanksi pidana dan pemberian sanksi tidak hanya diberikan kepada pemberi uang atau materi tetapi sanksi juga diberikan kepada penerima uang atau materi, jadi secara filosofis penyuap dan yang disuap dikenakan sanksi/dihukum.


Aspihani menjelaskan, larangan politik uang atau money politik ini diatur pada Pasal 73 UU No.10 Tahun 2016 yaitu terdapat pada beberapa ayat, yaitu :


(1) “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”;


(2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota“;


(3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“;


(4) “Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah, dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu”;


(5) “Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana. Dalam penjelasan Pasal 73 ayat (1) Yang tidak termasuk memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU”.


Pemberian uang atau materi pada penjelasan pasal 73 ayat (1) ini mungkin bagian dari modal atau cost politik yang dikeluarkan pada waktu kampanye. Cost politik merupakan harga yang harus dikeluarkan untuk berpolitik seperti konsumsi pada saat kampanye, transportasi pada saat kampanye. Cost politik ini tentunya berbeda dengan politik uang, di mana politik uang terjadi proses transaksi atau jual beli suara.


Pengaturan yang terdapat pada Pasal 73 ayat (2) secara jelas telah mengatur sanksi administrasi berupa pembatalan pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota bagi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi.


Pengaturannya dalam UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 187A ayat (1) "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar".


Pidana yang sama juga diterapkan kepada pemilih yang terlibat dalam politik uang atau yang menerima uang atau sejenisnya, ini diatur dalam Pasal 187A ayat (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Aspihani kembali mengingatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di situ diatur bahwa baik pemberi maupun penerima ‘Uang Politik‘ sama-sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman 6 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah.


“Kami menghimbau kepada masyarakat, bagi yang menemukan adanya perbuatan curang dan politik uang segera laporkan ke Bawaslu dan atau bisa ketempat kami dengan menghubungi di nomor 0811506881, kami siap membantu melanjutkan laporan anda tersebut ke Bawaslu Provinsi,” kata Aspihani.


Menurut Aspihani, perbuatan curang itu rentan terjadi di H-1, yakni pada malam hari menjelang pencoblosan dan juga sesudah pencoblosan disaat waktu istirahat panitia pelaksana pencoblosan. 


"Disaat menjelang pencoblosan itu biasanya tim pasangan calon membagikan uang dan bingkisan dengan harapan dalam menentukan pilihan, sedangkan di waktu istirahat selesai pencoblosan itu rentan sekali adanya permainan antar tim pasangan calon dengan panitia penyelenggara pilkada tersebut. Kan masih banyak kertas surat suara yang tersisa, di sanalah waktu yang tepat mereka bermain curang dengan memanfaatkan kelengahan para pemantau dan saksi,” tukasnya. 

 

Untuk itu, menurut Aspihani di dua waktu tersebut diatas, kita harus tingkatkan kewaspadaan guna mengantisipasi terjadinya sebuah kecurangan dalam berpolitik. Karena untuk mencapai kursi yang diinginkan, kebanyakan kontestan bisa saja menghalalkan segala caranya. #liputansbm 



Penulis adalah Ketua Umum Aliansi Jaringan Anak Kalimantan (AJAK)


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda